Tampilkan postingan dengan label Psikologi Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi Anak. Tampilkan semua postingan
24 Maret 2018

LAUNCHING ALBUM PERDANA SEKOLAH AL UMMAH GRESIK



http://renidwiastuti.com/2018/03/launching-album-perdana-sekolah-al.html

Hayoo...siapa yang anaknya sudah hapal dengan lagu Jaran Goyang, Bojo Galak atau Sayang? Secara lagu-lagu itu sering banget terdengar dimana-mana. 

Wuiiihhh... Bangga nggak sih kalau anak-anak sudah hapal lagu-lagu orang dewasa? Kalau saya sih ENGGAK!!! (Capslock dan tanda seru tiga biji), nggak tahu kalo Mas Anang Anda?

Ada juga lho orangtua yang bangga bila anaknya hapal di luar kepala menyanyikan lagu-lagu dewasa lengkap titik komanya, apalagi kalau anaknya bisa lolos seleksi ajang olah vokal yang di televisi.
Tanpa mereka sadari justru “kepintaran” anak-anak menyanyikan lagu-lagu dewasa justru akan menghilangkan keceriaan masa bocahnya, dia akan dikarbit untuk menjadi “lebih cepat dewasa”, bahkan dipaksa untuk menjadi pribadi yang lain (saat harus tampil menggunakan “kostum” dewasa sesuai lagunya).
11 Maret 2018

FUN OUTBOUND TKIT AL UMMAH DI JOGLO PARK PACET

"Bu, kurang 10 hari lagi..."

"Bu, outboundnya kurang 5 hari lagi..."

"Aku kurang berapa lagi bu outbound-nya?" 

"Nanti kalo outbound nggak boleh tidur malem-malem ya Buk..."

"Aku bangunkan pagi-pagi ya Buk, kata ustadzah kalau terlambat nanti ditinggal"

Begitulah tiap hari menjelang outbound yang diselenggarakan oleh sekolahnya di TKIT Al Ummah Gresik. Athiyah tak mau kalah sama diva pop Indonesia Kris Dayanti dalam mendendangkan lagu Menghitung Hari, meski dengan syair dan nada yang berbeda hahaha...
Dan ternyata teman-teman Athiyah yang lain pun melakukan hal yang sama, begitu cerita para bunda wali murid lainnya. Tiada hari tanpa membicarakan outbound dan pernak perniknya.
11 Desember 2017

PET CARE DAY AT AL UMMAH SWEET SCHOOL



Satu bulan sebelumnya saat sosialisasi tema kepada para wali murid, ustadzah menyampaikan bahwa di akhir tema “Hewan Peliharaan” akan ada perayaan tema dimana anak-anak diminta membawa hewan peliharaannya ke sekolah. Aku pun mengajak diskusi Athiyah tentang hewan apa yang akan dibawanya nanti. 
17 November 2017

"AKU NGGAK MAU IBU TUA"

Topik ini hangat di awal-awal Agustus lalu, namun baru sempat menuliskannya sekarang. Hangatnya hanya di rumah kami aja lhoo, nggak hangat di medsos. Emang siapa saaiiiaaahh....
Topik apaan sih?
Lucu-lucu gimana gitu... Lucu tapi banyak hikmah yang bisa dipetik. Eh tapi bisa jadi menurut point of view orang lain ini sesuatu yang nggak lucu lho... Ah, sutralah.

Jadi pada bulan-bulan itu Athiyah sering banget bilang, “Aku nggak mau Ibu tua”.
Yuupp...Athiyah nggak mau ibunya menjadi tua. Doa dari anak nih, biar ibunya awet muda, ehm ehm...
25 Juli 2017

IBU, AKU PINGIN PUNYA ADIK



Beberapa hari ini Athiyah sering bilang kalau pingin punya adik. Heran juga, kenapa tiba-tiba dia sering bilang begitu. Apa karena sering lihat tetangga yang punya bayi ya... Ada dua bayi di dekat rumah, anaknya tetangga maksudnya... tapi aku nggak terlalu menanggapi permintaan Athiyah, kadang aku iya-in sambil lalu, terkadang juga aku “gantung” jawabannya. Namanya juga anak kecil...gitu pikiran dalam benakku. 

Eh suatu sore dia bilang sambil merajuk dan diulang beberapa kali. Mungkin dia merasa ibunya kok nggak perhatiin permintaannya kemarin-kemarin soal keinginannya punya adik.


“Ibu, aku pingin punya adik...” (Aku masih nggak begitu meresponnya)


31 Mei 2017

MENJADI ORANGTUA YANG DIRINDUKAN



Siapa sih yang tidak ingin menjadi orangtua yang dicintai, disayangi dan dirindukan oleh anak-anaknya?
Apakah selama ini kita sudah merasa dirindukan oleh anak-anak kita? Atau justru anak-anak merasa kurang nyaman ketika orangtuanya ada di dekatnya? Apakah anak justru merasa senang bila kita ada di kegiatan di luar rumah sehingga mereka merasa bebas melakukan sesuatu di rumah?


Tentu kita harus cari tahu jawabannya...

Mungkin untuk orangtua yang anaknya masih balita, justru anak-anak tidak mau jauh dari pelukan orangtua. Tapi ketika anak-anak sudah menginjak usia remaja apakah mereka masih ingin selalu ada di dekat orangtuanya, atau justru merasa nyaman bila jauh dari pengawasan orangtua.

03 Mei 2017

BELAJAR GRAPHOLOGY DI SMAMIO GKB GRESIK



Pernahkah kita memperhatikan tulisan tangan kita?

Ah, sekedar tulisan tangan apa hebatnya sih? Eh, jangan salah guys, ketika kita menggoreskan pena di atas selembar kertas sepertinya itu hanyalah sebuah aktifitas yang dikendalikan oleh pikiran sadar kita. Tapi sebenarnya ketika kita menulis ternyata hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar kita. Itulah sebabnya tulisan setiap orang tidaklah sama baik bentuknya, gaya tulisannya, dan begitu juga karakter-karakter dalam diri seseorang.


Ketika kita sedang menulis, tidak hanya dilakukan oleh organ-organ tangan, lengan dan jari jemari kita yang lincah menggoreskan huruf demi huruf, tapi lebih dari itu sistem syaraf pusat juga turut bekerja. Tulisan tangan kita sepenuhnya dikontrol oleh otak kita.
04 April 2017

PENTINGNYA DUKUNGAN AYAH BUNDA DAN DANCOW ADVANCED EXCELNUTRI+ UNTUK EKSPLORASI SI KECIL



Menurut Elizabeth B. Hurlock, seorang psikolog perkembangan mengatakan bahwa anak usia 1-5 tahun mengalami pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat. Mereka mulai bisa berjalan dan melakukan aktivitas sendiri. Usia tersebut juga merupakan usia bermain, bereksplorasi dan bertanya.

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktivitas eksplorasi si kecil, antara lain membantu anak mengenal hal-hal baru, berinteraksi dengan hal-hal baru, mendukung ketrampilan sensorik motoriknya, mendukung ketrampilan berkomunikasi, dapat mengetahui perkembangan sosial-emosionalnya, kemandirian, kemampuan kognitif anak dan juga melatih kreatifitasnya.

09 November 2016

KALAU MARAH, IBU NGGAK MASUK SURGA LHO...



Siapa sih yang tidak ingin menjadi orangtua yang dicintai, disayangi dan dirindukan oleh anak-anaknya?
Apakah selama ini kita sudah merasa dirindukan oleh anak-anak kita? Atau justru anak-anak merasa kurang nyaman ketika orangtuanya ada di dekatnya? Apakah anak justru merasa senang bila kita ada di kegiatan di luar rumah sehingga mereka merasa bebas melakukan sesuatu di rumah?

Tentu kita harus cari tahu jawabannya...
Mungkin untuk orangtua yang anaknya masih balita, justru anak-anak tidak mau jauh dari pelukan orangtua. Tapi ketika anak-anak sudah menginjak usia remaja apakah mereka masih ingin selalu ada di dekat orangtuanya, atau justru merasa nyaman bila jauh dari pengawasan orangtua.

Perlu effort yang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan bukan?
Untuk itu marilah kita terus dan terus belajar menjadi orangtua.
Tema itulah yang diangkat dalam TALKSHOW PARENTING NASIONAL 2017 yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah Al Ummah Gresik. Bertempat di Graha Sarana PT. Petrokimia pada hari Sabtu, 8 April 2017. Acara dihadiri oleh sebagian besar wali murud dari Sekolah Al Ummah, guru-guru PG/TK serta para orangtua yang concern terhadap pengasuhan putra putri mereka.

Talkshow ini menghadirkan Ustadz Bendri Jaisyurrahman seorang muballigh, Konselor Anak, Keluarga dan Pernikahan, serta pendiri Aliansi Cinta Keluarga Indonesia.

Well... inilah beberapa rangkuman yang bisa saya tulis dari acara tersebut, semoga bermanfaat bagi diri saya sendiri dan siapapun yang berkenan membacanya.

Merupakan hal yang tidak mengherankan jika saat ini sebagian anak-anak justru lebih betah berlama-lama berada di luar rumah. Mereka lebih asyik nongkrong di cafe, mall, play station, warnet bahkan di warung kopi. Tak sedikit dari mereka yang pulang larut malam bahkan ada yang terlibat dalam tawuran.
Atau sebagian anak-anak ada di dalam rumah tapi bersikap menjadi antisosial, sibuk dengan gadgetnya dan jarang berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain padahal mereka berada dalam satu rumah. 

Pertanyaan besarnya adalah: DIMANA ORANGTUA MEREKA?

Hal-hal seperti itulah yang seyogyanya membawa kita untuk mengevaluasi diri apakah selama ini kita justru menjadi orangtua yang “dijauhi” oleh anak-anak kita sendiri.
Tidak sedikit orangtua yang merasa dirindukan oleh anak-anaknya, atau merasa ke GR-an sudah menjadi orangtua terbaik bagi anak-anaknya. Pernahkah sebagai orangtua bertanya kepada anak-anaknya misalnya, “Nak, menurutmu mama/papa itu orangnya gimana?”
Apakah anak akan menjawab, “Mama bawel, cerewet... Papa sukanya marah-marah melulu...”
Nah lho kann...

Pernah aku tanyakan hal serupa kepada si sulungku, eh jawabannya, “Ibu pelit, masak kalau anaknya minta sesuatu nggak dibelikan” atau “Masak aku disuruh belajar terus, kan pusing... Coba Ibu sendiri yang jadi aku...”
Nah berbekal jawaban itu kita bisa memberikan perhatian lebih ke anak serta menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan jawabannya, tapi bukan untuk membela dirinya yaa...

Untuk si bungsu sering aku tanya, “Dik, kalau ibu marah, adik suka nggak?”
Jawabannya, “Aku nggak suka Ibu marah, aku nggak mau sama Ibu!!!" atau "Ibu nakal kalo marah"...Dengan ekspresi ketus dan apa adanya dia menjawab, padahal saat itu aku dalam kondisi tidak sedang marah.
Bisalah dicoba untuk pertanyaan-pertanyaan lain dan mungkin kita akan tercengang dibuatnya.


Dalam mendidik dan mengasuh anak sudah menjadi kewajiban bagi kedua orangtua, baik ayah maupun ibu. Namun seringkali di masyarakat kita masih saja ada yang beranggapan bahwa ayah bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga sementara ibu bertugas mendidik dan mengasuh anak.

Pandangan tersebut ternyata perlu dikoreksi. Al Qur,an sudah memberikan panduan bagaimana menjadi orangtua hebat. Kalau berbicara tentang peran orangtua dalam Al Qur’an dialog yang terjadi antara anak dan orangtua justru yang paling banyak disebut adalah peran ayah dibanding peran ibu.

Ketika bicara tentang anak, ada 14 dialog antara ayah dan anak mulai dialog Nabi Ibrahim as – Ismail as, Ya’kub as- Yusuf as, Syaikh Madyan - anak perempuannya, Daud as – Sulaiman as,Ibrahim as dengan ayahnya, Ya’kub as dengan anaknya serta dialog Lukman dengan anaknya. Sementara dialog antara ibu dengan anak hanya ada 2 saja yaitu dialog antara Maryam dengan janinnya dan dialog antara Ibu Musa dengan anak perempuannya.

MISI ORANGTUA : MENGIKAT HATI ANAK
Ibu lebih banyak berperan sebagai “al wadud/al mawaddah” yaitu kecenderungan anak untuk ingin selalu menempel karena kasih sayang yang kuat. Inilah ibu yang sedang menjalankan fungsi pengasuhan yang biasa disebut sebagai fase emosional bonding. Ciri anak yang terikat dengan orangtuanya, merindukan kehadiran orangtua sehingga mereka akan banyak tergantung dengan orangtua. Ikatan emosi/batin seperti ini akan sangat berpengaruh bagi anak di masa depannya ketika ia menjalani masa-masa sulit meskipun orangtua tidak berada di sisinya. Dan yang harus diingat bahwa orangtua tidak mungkin selamanya akan mendampingi anak-anaknya. Anak juga lebih mandiri, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi serta menggapai cita-citanya. Nah emotional bounding yang kuat inilah yang berperan sebagai pengarah.

Sebaliknya, ketika anak tidak mempunyai emosional bonding yang baik dengan orangtuanya maka dia akan tidak mudah percaya pada orangtuanya dan lebih suka mendengar apa yang dikatakan oleh temannya, meskipun itu tidak baik baginya. Nah, disinilah saat pengaruh buruk dari luar masuk dengan mudah.
 
Makanya pada fase usia 0 – 2 tahun merupakan fase pengikatan (fase emosional bonding). Dalam Al Qur’an sangat jelas bahwa Allah memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan ASI. Bukan hanya ASI yang diberikan tapi yang tidak kalah pentingnya adalah belaian yang dibutuhkan oleh sang anak. Tentu tidak hanya ibu saja yang berperan. Sang ayah pun juga harus turut menjadi aktor utama dalam keterlibatan pengasuhan anak.
Bila ada pengasuh lain babysitter atau ART misalnya, maka orangtua harus tetap mengupayakan agar orangtua tetap menjadi tokoh utama. Ini bertujuan agar ikatan yang terjalin bukan dengan babbysitter atau ART tapi tetap pada orangtuanya.

Dalam fase 0 – 2 tahun ini orangtua harus mengerahkan segala energinya baik suara, bahasa tubuh dan ekspresi muka agar terekam kuat dalam memori si anak sehingga akan memunculkan ikatan hati. Pendengaran, penglihatan dan hati harus dipenuhi haknya. Anak harus sering mendengar suara orangtuanya, anak harus sering melihat wajah orangtuanya dan anak harus merasakan bahwa dia mendapatkan kasih sayang penuh dari orangtuanya.

SINDROME "MOMMY IS MY ENEMY"
Ini merupakan kecenderungan anak yang bermusuhan dengan ibunya di usia ABG. Mereka cenderung bicara kasar dan tidak sopan pada ibunya. Ustadz Bendri mencontohkan sebuah kasus gadis X yang berperilaku sangat kasar pada ibunya, kata-kata kotor selalu diumpatkan pada ibunya. Gadis X pernah bercerita pada ustadz Bendri (cerita ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan para working mom) bahwa sejak usia satu tahun ia minum ASI perah karena ibunya sering ada tugas ke luar negeri. Ibunya berpesan pada ART di rumah itu agar selalu memberikan ASI (bukan susu formula) kepada anaknya. Tak lupa ia pun berpesan bila stok ASI hampir habis sang ART harus lapor ke sang ibu agar sang ibu bisa memerah ASI-nya dan akan dikirimkan. Sang ibu berprinsip agar anaknya harus mendapatkan ASI full selama dua tahun.

Gadis X bilang bahwa dia memang minum ASI full selama dua tahun tapi diberikan selalu dari botol. “Emangnya gue anak botolan...” itu ungkapan yang keluar dari mulutnya dengan penuh rasa kesal.

Dari peristiwa tersebut dapat digarisbawahi bahwa masih ada para ibu yang salah paham mengenai konsep ASI. Tidak hanya tercukupi ASI ke mulut anak tapi lebih dari itu anak juga butuh tercukupi belaian orangtua. Dengan seringnya tak memberikan ASI langsung dari puting dapat menyebabkan anak sehat fisiknya namun jiwanya kosong. 

Bagaimana jika ibu ada kendala dalam pemberian ASI seperti ibu bekerja, ASI kering (tidak mau keluar), si ibu sedang hamil lagi atau karena alasan medis sehingga tidak disarankan menyusui maka si anak baduta (bawah dua tahun) harus tetap sering ditempelkan pada puting sang ibu walau tiak nenen (menyusu). Hal ini bertujuan agar anak tercukupi belaian atau sentuhan sang ibu.

BUAH DARI ORANGTUA YANG DIRINDUKAN
Ketika anak-anak sudah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan orangtuanya maka inilah hasilnya: 

  1. Anak berusaha taat meski beda keinginan.
  2. Anak tetap hormat meski dimarahi.
  3. Anak tidak menyimpan rahasia kepada orangtuanya.
  4. Orangtua dijadikan rujukan dalam nilai dan prinsip.
  5. Anak tidak betah keluyuran di luar.
  6. Orangtua dijadikan referensi dalam mencari jodoh
  PENTINGNYA KEDEKATAN AYAH DENGAN ANAK PEREMPUANNYA
Di Indonesia angka perceraian sudah sangat tinggi. 70 persen istri yang menggugat cerai suami. Kenapa? Setelah ditelisik lebih dalam ternyata hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya atau tipisnya emosional bonding antara ayah dengan anak perempuannya. Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya berpengaruh terhadap 2 hal, yaitu :
  1. Tidak mudah jatuh cinta kepada sembarang lelaki saat ABG.
  2. Tidak mudah menggugat cerai suami jika sedang berkonflik. Saat berkonflik dengan sang suami dia akan curhat ke ayahnya bukan ke laki-laki lain. inilah pentingnya father bonding
Bagaimana jika terlambat melakukan emotional bonding di usia 0-2 tahun?
Tidak ada kata terlambat.
Emosional bonding masih bisa diciptakan.
Caranya dengan "peka membaca"  goldent moment. Apa itu GOLDEN MOMENT? yaitu suatu keadaan dimana anak benar-benar memerlukan kehadiran kita sebagai orangtua. ini bisa terjadi tanpa sengaja tapi bisa juga direkayasa.

Contohnya dikala anak sedang sedih dan membutuhkan kita atau pada saat anak menunjukkan prestasinya. hadirlah dengan sepenuh jiwa raga pada saat-saat itu. Jangan hanya hadir secara fisik saja.
Ketika anak sedang sedih, jadilah tempat curhatnya, jangan biarkan orang lain merebut posisi itu. Ketika anak sedang sdih sementara orangtua tidak peka maka hatinya akan semakin rapuh. Dia semakin tidak percaya pada orangtuanya dan akan mencari sosok lain yang bisa mendengarkan dia. Akan semakin berbahaya bila yang dijadikan sosok curahan hatinya adalah sosok yang tidak tepat.

Begitu juga ketika anak menunjukkan prestasinya. Misalnya ketika dia tampil dalam pentas sekolahnya seperti menyanyi, baca puisi, menari atau bahkan hanya sebagai pemeran figuran dalam drama sekolah. Meskipun kesannya remeh dan biasa tapi ini sangat penting bagi kebanggaan dirinya di hadapan orangtuanya. Berikanlah tepuk tangan yang tulus dan penuh rasa bangga pada anak. Jangan sampai tidak hadir pada acara-acara penting bagi anak demi terciptanya emosional bonding.

Ketika emosional bonding sudah terwujud dengan kuat maka sesungguhnya kita telah mendampingi anak-anak kita tercinta meski kita telah tiada.


21 September 2016

MEMBANGUN KOMUNIKASI EFEKTIF DENGAN ANAK



Dari data Kemenag RI tahun 2013 diperoleh data bahwa angka perceraian di Indonesia sangat mencengangkan sekaligus memilukan, yaitu terjadinya 350.000 kasus perceraian. Itu artinya dalam satu hari rata-rata terjadi hampir 1000 kasus perceraian, atau dalam satu jam hakim mengetok palu untuk 40 kasus perceraian. 

Dengan angka yang fantastis itu memposisikan Indonesia pada ranking pertama se Asia Pasifik dalam hal tingginya perceraian. Ironis memang, di negara dengan mayoritas muslim terbesar justru tinggi pula angka perceraian.
29 Juli 2016

NANO-NANO DI #HARI PERTAMA SEKOLAH ATHIYAH


Bagaikan permen Nano-Nano, manis...asem...asin...ramai rasanya...
Begitu pula pengalaman di #Hari Pertama Sekolah bagi Athiyah yang padabulan Juli tahun ini tepat berusia tiga tahun. Yap... Athiyah mulai masuk di kelompok bermain tepatnya di KBIT Al Ummah Gresik.

PERSIAPAN SEBELUM MASUK SEKOLAH
Beruntunglah kami karena lokasi sekolah yang kami pilih begitu dekat dengan rumah kami. Jauh-jauh hari sebelum kami mendaftarkan Athiyah di sekolah ini, seringkali kami ajak bermain-main di halaman sekolahnya tiap sore. Bahkan, Athiyah sendiri yang sering minta bermain ke sekolah saat sore hari. Kebetulan di sore hari ramai juga dengan anak-anak yang sedang belajar mengaji di Islamic Centre yang masih satu lokasi dengan sekolah. 

20 Desember 2015

PELITKAH ANAKKU....

Beberapa minggu terakhir ini Athiyah sering tiba-tiba memelukku dan bilang, “Ini ibukuu...”
Begitu juga pada bapaknya, iya pun tiba-tiba memeluknya dan berkata, “Ini bapakku...”.
Ketika dia main di luar dengan temannya, tiba-tiba lari pulang masuk rumah dan melakukan hal yang sama. Suamiku heran, kenapa kok begitu? Tanyanya padaku. Ya aku jawab bahwa itu adalah hal yang wajar karena dia mulai memahami arti kepemilikan. Kalau digoda, “Ibumu tak pek...” (ibumu punyaku), dia akan spontan kesal dan menjawab, “Nggaakk... (nggaknya medok banget) ini ibukuuu...ya buu...ibuku yaa...”

Ada cerita lain lagi...
Athiyah punya teman yang usianya 4 bulan lebih tua, cowok namanya Prabu Laqief. Tiap hari mereka selalu bermain bersama. Kalau nggak di rumahnya ya pasti di rumah kami. Main di luar pun bersama-sama. Mereka selalu saling memanggil lewat pagar rumah. Bila nggak ketemu sehari saja, ributnya minta ampun, pingin main ke rumahnya, dan begitu pula sebaliknya (kata ibunya Laqief).
Namun, namanya juga anak pasti deh selalu rebutan sesuatu. Meski saban hari diberi tahu kalau main tidak boleh rebutan, yaaa tetep aja rebutan. “Ndak lebut ya...ndak lebut yaa...” kata Athiyah kalau habis diingatkan.
Athiyah termasuk anak”pemberani”. Ketika mainannya direbut, dia akan mempertahankannya. Tak jarang iya kena pukul oleh temannya itu. Kadang sampai nangis karena dipukul. Dia akan bilang, “Ini punya adik kok..., ini punya adik!!!”, katanya sambil teriak. Pun sebaliknya begitu, Athiyah juga sering mengambil paksa atau merebut mainannya Laqief. Laqief pun berusaha mempertahankannya. Kalau tidak boleh Athiyah akan mencubit atau mencakar Laqief. Dia akan mengatakan, “Adik pinjem kok..., adik pinjem...!”
Walau seringkali sudah diingatkan kalau bermain dengan teman tidak boleh merebut, mencubit atau memukul yaa tetep aja terulang lagi. Saat diingatkan pun dia akan mengulang kata-kata saya, “Dak boyeh pukul, dak boyeh cubit giniii...(sambil mencubit tangannya sendiri).”
Kelihatannya Athiyah jadi anak pelit, egois, suka main tangan... Aduuhh, pusing pala barbie...

Bagaimana nanti kalau sudah besar, masak masih seperti itu?
Eiitss...tunggu dulu... kalau kita kembali pada ilmu perkembangan anak (untungnya ibunya pernah belajar sedikit tentang psikologi perkembangan), perilaku itu masih wajar untuk anak usia batita, namun harus tetap diberi tahu mana yang baik dan tidak baik. Anak usia 2 smpai 5 tahun sudah mulai mengenal konsep kepemilikan, artinya dia tahu mana barang miliknya dan barang milik orang lain. Walau untuk Athiyah, terkadang barang milik temannya atau kakaknya diakui sebagai miliknya karena dia ingin “menguasai” barang itu. Dan itu juga masih wajar karena anak seusianya akan lebih mementingkan bahwa “barang itu milikku” daripada “barang itu milikmu”. Mengapa demikian? Ya kita harus kembali lagi bahwa anak usia batita mempunyai sidat egosentris. Mereka tidak tahu barang itu miliknya atau bukan. Ia hanya mau tahu barang itu miliknya. Makanya mereka sering rebutan mainan.  Kemampuan kognitifnya masih terbatas, dia cenderung menganggap semua adalah miliknya, ibuku, bapakku, mainanmu, bonekaku, dsb. Mereka masih sulit untuk menempatkan diri dalam sudut pandang orang lain. Seperti misalnya, ketika Athiyah melihat balon, ia akan langsung memainkannya, karena menurutnya balon itu miliknya dan ia berhak menggunakannya tanpa peduli itu balon milik siapa. Ia juga tidak peduli apakah nantinya yang punya balon marah atau tidak, karena di sudut pandangnya anak yang punya balon akan sama senangnya dengan dirinya saat main balon.

Kakaknya pun sering kesal, bahkan marah-marah, katanya, “Adik egois. Adik ngrebutan...”
Kadang karena sama-sama tidak mau mengalah, bertengkarlah mereka sampai salah satu atau keduanya menangis. Kalau sudah begitu, aku harus memberikan pengertian kepada keduanya.
Namun, tidak sepenuhnya Athiyah “se-egois” itu. Karena beberapa kali dia sudah bisa mulai “mengerti” bahwa barang itu tidak selalu miliknya. Sebagian anak batita pun adayang sudah bisa memahami konsep kepemilikan dengan lebih baik. Dia tidak hanya mengerti mana barang miliknya dan mana barang milik orang lain. Dia pun merespon bila ada orang lain mengambil/memakai barang yang bukan miliknya. Dalam hal ini, Athiyah sering “memarahi” kakaknya karena menggunakan hp ibu atau bapak. Katanya, “Kakak jangan, itu hp ibuk...” (dan dia pun sering mengambil/merebut hp tersebut lalu memberikannya padaku. Atau juga dengan sisir rambut, “Ini sisil ibu...” atau “Mana sisir ibu, adik pinjam sisil ibu”.

Hal-hal seperti itu sebenarnya merupakan awal dari kemampuan anak memahami orang lain. Lalu bagaimana anak bisa dikatakan sudah memahami konsep kepemilikan? Bila si anak sudah mengetahui mana barangnya dan mana barang orang lain. Lalu minta ijin tanpa merebut tentunya bila ingin meminjam barang. Dengan demikian egosentrismenya mulai berubah. Dia mulai mampu memahami sesuatu darisudut pandang orang lain. Tugas orangtua selanjutnya mengasah hal tersebut agar lebih baik lagi.
Sementara untuk anak yang belum terlalu paham dengan konsep kepemilikan aku biasanya mengatakan sesuatu sesuai pemiliknya, misalnya ini sepatu kakak, tolong ambilkan baju bapak, pinjam dong bonek adik, dll. Ketika ada temannya yang main bersama selalu diajarkan agar Athiyah meminjamkan mainannya ke anak tersebut...(ini sih kadang boleh, kadang juga nggak boleh sama Athiyah). Tak lupa juga dengan membiasakan minta ijin dulu kalau ingin meminjam sesuatu. Dalam hal ini kadang aku bilang ke kakaknya, “Kak, kalau adik nggak minta ijin jangan dipinjami yaa...” (mesti terkadang ini gagal juga karena keburu ngrebut sambil nangis). Dan juga beri pujian setiap anak sudah minta ijin, seperti, “Nah gitu, anak baik minta ijin dulu...”
Memberi contoh dengan perilaku kita sehari-hari harus kita lakukan juga, misalnya, “Kak, ibu pinjam pulpennya dong...” atau. “Adik ibu pinjam mainannya dong...”

Sekali lagi, memang kita harus sabar, telaten dan konsisten serta memberikan keteladanan pada anak-anak kita.
10 Desember 2015

PERKEMBANGAN ATHIYAH DI USIA BATITA

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin menimang baby Athiyah, namun sekarang dia sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. Di usianya yang ke 2 tahun 5 bulan sudah banyak capaian tugas-tugas perkembangan yang dapat dilampaui Athiyah dengan baik. Sebagai orangtua kami juga selalu belajar dan membaca tumbuh kembang anak kami. Apakah dia bisa menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya atau justru ada salah satu dari tugas perkembangan yang dijalani dengan kurang baik. Tak jarang pula aku berdiskusi dengan teman-teman berkaitan dengan perkembangan anak kami.

Ketika bicara tentang tugas perkembangan anak di usia batita tentu kita akan mengacu kepada beberapa aspek, antara lain:

1. ASPEK FISIK

Secara umum anak batita akan sangat aktif secara fisik seperti berlari, melompat, naik tangga, menendang bola, memegang cangkir dan sendok, dll. Memang sih ada sebagian anak yang kurang menonjol dalam aspek ini sehingga mereka akan cenderung terlihat lebih pasif dalam aktifitas motorik kasarnya. 
Bagaimana dengan Athiyah?
Menurut pengamatan kami, selaku orangtua Athiyah termasuk anak yang ceria dan dapat melaksanakan aktivitas motoriknya dengan baik, bahkan untuk mengunci pintu pun dia bisa. Eh, tapi giliran membuka kuncinya dia masih sering gagal. Nah, ini alarm bagi kami agar hati-hati menaruh anak kunci, jangan sampai anak kunci tertancap di pintu karena dikhawatirkan dia akan terkunci saat main-main sendiri di kamar. Pernah dengar ada cerita dari teman kalau anaknya terkunci di dalam rumah karena mainan kunci sehingga harus mendobrak pintunya. Semoga jangan terjadi pada Athiyah yaa...

tambahan?

Oh ya, anak usia batita masih belum dapat duduk tenang terlalu lama. Jadi tidak usah memaksakan mereka untuk anteng deh kecuali memang bawaan anaknya yang anteng dan pendiam. 

tambahan?

Athiyah pun sering tidak mau dibantu melakukan sesuatu, maunya dilakukan sendiri seperti: membuka tutup botol, menusukkan sedotan ke dalam minuman dalam kemasan, menakar susu formula untuk dotnya, dll. Kita emaknya sih kepikiran kalau tumpah isinya, padahal itu pelajaran berharga buat anak melatih kemampuannya serta kemandiriannya. Kalau aku sih seringnya aku biarkan aja tapi teteepp dengan imbauan kata-kata emak-emak, "hati-hati yaa...awas tumpah..."
Tidak mau dibantu oleh orang dewasa itu dikarenakan anak usia batita secara fisik sudah mulai mampu melakukan banyak hal sendiri. Selain itu mereka sudah memiliki kemauan yang seringkali berbeda dengan orang dewasa.

2. ASPEK KOGNITIF DAN BAHASA

Menurut Piaget, anak usia batita berada pada tahap sensori motor (0-2 tahun).Itu artinya anak di usia ini mampu mengerti bahwa suatu objek masih tetap ada meskipun tidak tampak seperti misalnya saat ibu dan bapaknya pergi, anak sudah mulai mempunyai keyakinan bahwa nanti mereka akan kembali.
Anak batita juga sudah mulai masuk periode PRA OPERASIONAL (2-7 tahun). Pada tahap ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil dari meniru orang-orang di sekitarnya. Nah yang paling menonjol pada Athiyah adalah perilaku meniru ini seperti mencubit, mencibir, teriak-teriak yang tentunya ini membuat kami geleng-geleng kepala. Tapi banyak hal positif yang ditirunya juga lhoo seperti ikut-ikutan sholat, mengaji, “belajar” dan lain-lain. Anak juga masih belum memahami konsep-konsep yang abstrak seperti aman atau tidaknya sesuatu hal.
Masih menurut Piaget, di tahap ini anak memiliki kemampuan menggunakan simbol-simbol yang nampak dalam 5 gejala sebagai berikut:
1.       IMITASI TIDAK LANGSUNG
Si batita mulai dapt menggambarkan sesuatu yang dialami atau dilihat, yang sekarang bendanya atau peristiwanya sudah tidak ada, misalnya saat Athiyah bermain masak-masakan atau jual-jualan, atau juga menirukan membuat bros sambil memencet-mencet tombol di kalkulator, dll.

2.       PERMAINAN SIMBOLIS
Sifat permainan ini juga imitatif, dimana anak meniru pengalaman sebelumnya. Misalnya, saat main boneka seolah-olah boneka adalah anaknya atau adiknya. Cara Athiyah menidurkan boneka dalam gendongan pun meniru tantenya saat menidurkan babynya dengan mengatakan, “Ssssttt...ojo lame-lame...”  (maksudnya: ssst...jangan rame-rame) sambil meletakkan telunjuk tangannya di atas bibirnya.

3.       MENGGAMBAR
Anak mulai menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis lainnya. Seperti gambar di bawah ini, kata Athiyah ini gambar masjid
Foto masjid

4.       GAMBAR MENTAL
Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengalaman sebelumnya. Dalam hal ini anak usia batita masih sering salah dalam menggambarkan kembali hal yang telah diamati.

5.       BAHASA UCAPAN
Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai representasi benda atau kejadian. Dengan bahasa ini anak juga berkomunikasi dengan orang lain. Dalam hal bahasa, Athiyah termasuk anak yang ceriwis meski banyak kata yang lafalnya belum terlalu jelas. Athiyah pun sudah mampu membuat kalimat singkat yang terdiri dari 3-4 kata, mampu memahami perintah sederhana dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya secara timbal balik.

3. ASPEK SOSIAL EMOSI
Anak usia batita biasanya sudah mulai memahami bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, curiosity-tinggi dan suka bereksperimen. Mereka juga sudah mulai memahami aturan.
Ciri khas emosi anak usia batita antara lain:
a.       Ekpresif. Athiyah termasuk anak yang ekspresif, baik untuk emosi yang positif maupun emosi yang negatif. Untuk yang ekspresi emosi positif misalnya tertawa lepas saat senang, begitu girang ketika bapak ibunya pulang kerja dan sering menghambur untuk berpelukan, tertawa-tawa senang melihat videonya atau video lucu lain, dll. Untuk eskpresi emosi negatif misalnya marah dengan mencubit atau mendorong teman yang mengganggunya, menangis keras-keras saat kemauannya tidak dituruti.

b.      Kurang menyukai suasana baru
Anak batita pada umumnya lebih menyukai suasana yang sudah dikenali dan cenderung takut pada suasana baru. Namun, ada juga anak yang memiliki adaptasi yang cepat sehingga suasana baru bukan hal yang menakutkannya. Untuk Athiyah, pengamatanku selama ini, dia termasuk anak yang cepat adaptasi, meski pada saat-saat tertentu dia ogah-ogahan juga dengan situasi baru.

c.       Sering berkonflik dengan orangtua
Konflik dengan orangtua ini muncul karena anak semakin merasa punya otonomi dan egosentrisme. Anak batita belum cukup mampu untuk memandang suatu masalah atau keadaan dari sudut pandang orang lain. Misalnya pada Athiyah, ketika dia menangis keras bahkan sampai mengamuk dan lamaaaa  banget nangis kencengnya karena tidak boleh bermain di luar saat siang terik atau pada waktu malam. Dari sisi anak dia akan berpikir, “Mengapa kok tidak boleh? Padahal aku suka main di luar.” Sedangkan dari sudut pandang orangtua akan beranggapan anaknya keras kepala dan susah diatur. Sebenarnya itu merupakan usaha anak untuk mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh. Anak menguji seberapa "kekuatan atau kesabaran" orangtua mereka. Apakah orangtua akan luluh atau tidak dengan tangisannya, sehingga dalam hal ini orangtua harus tegas, konsisten dan selalu memberikan penguatan-penguatan misalnya dengan menegur bila anak melanggarnya. Atau beri punishment yang sesuai dengan usianya misalnya tidak boleh bermain dengan boneka kesayangannya untuk beberapa waktu tertentu. Semua ini agar anak tahu kesalahannya. Dan yang penting lagi, usahakan tidak melibatkan emosi. Ini tidak gampang karena biasanya kita akan cenderung memarahi anak bila melihat anak menentang aturan kita dengan mengamuk. Saya pun terus berlatih untuk mengendalikan emosi ini meski sesekali gagal....(sabbbaaarrr....baarr...baarrr...)

Selain itu berkembangnya otonomi pada anak dapat dikenali  dengan seringnya dia mengatakan “TIDAK”, sehingga masa ini juga dikenal sebagai "masa menentang", anak ingin memilih sesuatu sendiri, ingin makan sediri, pakai sepatu sendiri, pakai baju sendiri, dll.

Menurut Erik Erikson, otonomi pada anak perlu dikembangkan. Seperti pada teori Psikososialnya bahwa dalam masa perkembangan ada periode AUTONOMY versus SHAME AND DOUBT dimana anak usia batita masuk dalam tahap ini. Anak di usia ini cenderung aktif. Menurut Erik Erikson, orangtua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak dan kemandiriannya. Tapi tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dimaui anak. Karena dengan membatasi anak, menyebabkan anak jadi mudah menyerah dan selalu butuh bantuan dari orang lain. Dan sebaliknya, bila terlalu membebaskan, anak akan cenderung bertindak sesuai keinginannya tanpa memperhatikan baik buruknya tindakan tersebut. Jadi sebagai orangtua harus bisa memberikan porsi yang seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak. Dengan begitu anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri serta terhindar dari perasaan malu dan ragu terhadap kemampuan dirinya dalam pengambilan keputusan. 
Beberapa hal yang perlu dicatat:
1. Dalam memberikan kebebasan pada anak batita untuk memilih, dengan menawarkan pilihan. namun batasi pada pilihan yang memang memungkinkan untuk dipilih, agar bisa terarah dan tidak merepotkan.

2. Hindarkan memaksakan kehendak pada anak, terutama untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. tapi orangtua tetap harus memberikan batasan mana yang boleh dan tidak boleh. Beri alasan dengan bahasa yang gampang dimengerti anak.

Memang, sebagai oarngtua kita dituntut untuk CREATIF.....

Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Psikososial diambil dari sumber : Buku Psikologi Perkembangan, Elizabeth B. Hurlock


25 Juni 2015

KETIKA ANAK MENIRU PERILAKU NEGATIF



Sekitar awal bulan Mei yang lalu, Athiyah sering dititipkan di rumah mbahnya. tantenya  yang biasanya bersama setiap hari dengan Athiyah tidak bisa menjaganya karena ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan. Sekitar 4 hari Athiyah berada di rumahnya. Karena masih ASI, tiap malam sepulang suami dari kantor kami pun pergi kesana dan pagi-pagi setelah sholat Subuh kami pun meninggalkan Athiyah disana karena kami harus bekerja. Nah, mulai dari situlah nampak perubahan perilaku yang sangat mencolok pada Athiyah. Mulai dari memukul, berteriak,  merebut mainan dengan kasar, memasang muka sinis (Athiyah menatap sinis sambil memajukan dagunya, dan kadang sambil menggumam “hahh”) bahkan berekspresi sinis sambil kayak mau meludah ke lawan bicaranya (tapi maaf, ludahnya masih menempel di bibir, mungkin maksudnya mau meludahi orang tapi belum bisa.

Kaget...? pasti. Khawatir...? Iya. Sediihh...? Ho..oh... Teruss...?
Apa kita mau menyalahkan oranglain? ...Tentu itu tindakan yang kurang bijak....

Tanpa menunggu waktu lebih lama,akhirnya aku pun cari informasi ke keluarga yang disana. Ternyata memang ada salah satu sepupu Athiyah yang “bertingkahlaku”  seperti itu. Athiyah pun menirukan perilaku itu. Sepupu kami yang masih PAUD itu pun mendapatkan perilaku negatifnya dari teman-temannya.
Nah, menirukan hal-hal yang negatif atau kasar pada anak batita (usia Athiyah maupun sepupunya itu) memang hanya sekedar menirukan saja. Mereka belum memiliki kemampuan membedakan hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Bahkan mereka belum memahami kalau kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan itu adalah hal yang tidak baik.

Meniru merupakan salah satu cara anak belajar tentang diri dan lingkungannya. Meniru verbal merupaka dasar bagi anak batita untuk belajar bahasa. Saat anak belajar bicara pun diawali dengan modelling atau meniru, karena tanpa itu anak tidak akan mampu mengembangkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan lingkungan. 

Tapi, yang jadi masalah jika hal-hal yang jelek pun ditiru dan bahkan bila dilarang, malah dilakukan lagi.
Mengapa anak melakukan hal tersebut? Itu karena anak memiliki keterbatasan dalam kemampuan berpikirnya.
Terus bagaimana aku mentreatmen atau mengatasi perilaku negatif Athiyah ini...?
Awalnya aku melarang secara langsung. Biasa kan...emak-emak kalau ada perilaku yang negatif dari anaknya, secara umum atau refleks kali yaa...pasti akan melarang dulu. Tapi semakin dilarang, Athiyah malah semakin mengulang perilakunya tersebut. Bahkan tanpa ada pencetus apa pun ia bertingkah seperti itu, apalagi kalau ada pencetusnya yang membuat dia bete atau kesal. Ternyata dengan melarang sepertinya tidak efektif untuk Athiyah,  justru mendorongnya untuk mengulangi perilaku buruk karena dia merasa mendapatkan perhatian lebih.

Aku pun cari cara lain dengan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Cara ini kadang berhasil, tapi kalau Athiyah lagi sangat kesal/marah, maka cara ini jarang berhasil. Cara berikutnya, dengan tidak memperhatikan dia saat perilaku negatif itu muncul, sambil mengatakan, “Itu jelek...jelek... Itu tidak baik... Ibu nggak mau lihat.” Sepertinya Athiyah ingin melihat reaksi orang disekitarnya saat itu dengan perilaku negatifnya, atau juga mungkin dia sedang caper.
Biasanya kalau sudah merasa dicuekin Athiyah akan merangsek maju agar kita melihatnya dan mengulang perilaku negatifnya dengan semakin “menjadi-jadi”. Tapi aku tetep kekeuh tidak melihatnya sampai-sampai dia menangis. Bagiku itu semacam punishment bagi Athiyah agar tidak mengulangi perilaku negatifnya. Agar dia belajar bahwa dengan berperilaku seperti itu orang lain tidak suka. Bahkan kalau ada orang lain saat itu seperti kakaknya, atau tantenya atau bapaknya saya seolah mencari penguatan. Misalnya kalau saat itu sedang ada kakaknya, maka saya akan bilang, “Kak, gitu tidak boleh ya... tidak baik yaa....” tentu di depannya Athiyah.

Dan bentuk punishment lain, setelah Athiyah berperilaku negatif lalu tidak mendapat perhatianku sehingga dia menangis, ujung-ujungnya akan minta ASI. Sebagai punishmentnya aku  tidak mau memberi ASI. Dia akan minta terus sambil berkata, “num...num...num ibu...aci...aci... Meski nangis pun tidak aku kasih ASI sebelum dia minta maaf. Terkadang Athiyah juga kekeuh nggak mau minta maaf dan menangis terus sambil merajuk minta ASI. Tapi seringnya mau minta maaf sambil mengulurkan tangannya dan berkata, “maf..maf...”
Setelah dikasih ASI, disela-sela menyusu dia akan bilang, “dak oyeh...idak oyeh... (tidak boleh...) sambil matanya menatapku.   

Nah, hal itu bila dilakukan terus menerus aku yakin anak akan mendapatkan insight bahwa perilaku negatifnya tidak disukai oleh orang lain. Dan alhamdulillah pelan-pelan perilaku negatifnya mulai berkurang dan jarang dilakukan lagi.
Nah, dengan peristiwa itu ada juga dampak positifnya, yaitu Athiyah jadi yahu mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang baik dan tidak baik. Dengan meniru, ia akan belajar banyak tentang lingkungannya, dan hal ini dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasannya.
Perilaku yang ditunjukkan oleh anak akan menjadi kebiasaan baginya. Kebiasaan akan menjadi bagian dari karakter anak. Jadi jika kita ingin anak kita mempunyai karakter yang dapat diterima maka kita harus menciptakan lingkungan yang tepat dan mendidik bagi anak kita.